Prof. Dr. Asep Nana Mulyana |
Jakarta, MP----- Selasa 13 Agustus 2024, Jaksa Agung RI melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana memimpin ekspose dalam rangka menyetujui 6 permohonan penyelesaian perkara berdasarkan mekanisme keadilan restoratif.
Adapun salah satu perkara yang diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif yaitu terhadap Tersangka Marselino Efrayen Yeremia Parrtranie dari Kejaksaan Negeri Bitung, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
Kronologi bermula saat Tersangka Marselino Efrayen Yeremia Parrtranie datang ke rumah Sdr. Erik karena sedang ada pesta ulang tahun. Tersangka lalu duduk menikmati hiburan musik sambil meminum minuman keras. Beberapa saat kemudian, datanglah saksi Sandro yang sudah dalam keadaan mabuk.
Saksi Sandro lalu memarkir sepeda motornya di depan rumah dan duduk minum bersama Tersangka hingga saksi Sandro tertidur, lalu Tersangka beranjak dari tempat tersebut dan berjalan mendekati sepeda motor saksi Sandro yang terparkir dijalan.
Tersangka lalu menaiki dan mengendarai motor tersebut menuju rumah Ibu Tersangka yang ada di Perumahan Asri Lanjutan bertempat di Kelurahan Manembo-Nembo Atas. Keesokan paginya, Tersangka kembali ke rumah tempat pesta tersebut dengan tujuan untuk mencari HP milik teman Tersangka yang Tersangka pinjam dan hilang ditempat acara, dimana saat itu Tersangka bertemu dengan saksi Sandro yang sedang mencari sepeda motornya namun tersangka tidak memberitahukan bahwa motor saksi Sandro ada padanya.
Kemudian Tersangka berusaha mengelak ketika ditanya oleh Saksi Sandro dan istrinya Saksi Korban Melisa Gacela Rumimpunu, lalu Saksi Sandro mendesak Tersangka untuk mengambil kunci tersebut di teman Tersangka dan kemudian Tersangka langsung pergi dan mengambil kunci tersebut lalu menyerahkan kunci sepeda motor tersebut kepada saksi Sandro dengan keadaan stiker-stiker yang tadinya ada pada motor tersebut telah dicabuti oleh tersangka.
Mengetahui kasus posisi tersebut, Kepala Kejaksaan Negeri Bitung Dr. Yadyn, S.H., M.H., Kasi Pidum Erly Andika Wurara, S.H, serta Jaksa Fasilitator Heidy Gasperz, S.H., dan Alexander Sirait. S.H. menginisiasikan penyelesaian perkara ini melalui mekanisme restorative justice.
Dalam proses perdamaian, Tersangka mengakui dan menyesali perbuatannya serta meminta maaf kepada Korban. Setelah itu, Korban menerima permintaan maaf dari Tersangka dan juga meminta agar proses hukum yang sedang dijalani oleh Tersangka dihentikan. Selain itu, Tersangka juga telah mengembalikan motor korban yang telah dicuri.
Usai tercapainya kesepakatan perdamaian, Kepala Kejaksaan Negeri Bitung mengajukan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara. Setelah mempelajari berkas perkara tersebut, Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara Dr.Andi Muhammad Taufik, S.H., M.H., CGCAE sependapat untuk dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dan mengajukan permohonan kepada JAM-Pidum dan permohonan tersebut disetujui dalam ekspose Restorative Justice yang digelar pada Selasa, 13 Agustus 2024.
Selain itu, JAM-Pidum juga menyetujui 6 perkara lain melalui mekanisme keadilan restoratif, terhadap tersangka:
Tersangka Afriyanto Runtulemba Dauhan, SH dari Kejaksaan Negeri Kepulauan Siau Tagulandang Biaro, yang disangka melanggar Pasal 378 KUHP tentang Penipuan.
Tersangka Dendy Christian Kanalung dari Kejaksaan Negeri Kepulauan Sangihe, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Tersangka Janli Makakendung dari Kejaksaan Negeri Kepulauan Sangihe, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Tersangka Martinus Seni Welan als Jemes dari Kejaksaan Flores Timur, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Tersangka Bambang als Ambang bin La Subai dari Kejaksaan Negeri Muna, yang disangka melanggar Pasal 44 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain:
Telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf;
Tersangka belum pernah dihukum;
Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana;
Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun;
Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya;
Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi;
Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar;
Pertimbangan sosiologis;
Masyarakat merespon positif.
Selanjutnya, JAM-Pidum memerintahkan kepada Para Kepala Kejaksaan Negeri untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum. (*)